Aku bukanlah orang yang baik menurutku. Tapi siapa sangka aku akan mendapat sebuah kejutan dari Tuhanku, yaitu Allah. Sebuah kejutan yang ternyata menuntunku ke jalan yang benar. Aku merasa kalau Allah masih menyayangiku. Semuanya berawal dari sebuah malam yang dimana saat itu langit penuh dengan bintang.
Aku berjalan pulang sendiri ditengah malam yang sepi. Walaupun aku tak tahu aku akan diterima di rumah atau tidak. Karena sudah beberapa hari ini aku tidak pulang ke rumah dan lebih memilih mengikuti ajakan kotor teman-temanku, walaupun aku tahu kalau mereka tak pantas disebut ‘teman’. Aku merasa sangat tinggi sekarang, sampai-sampai aku tak tahu apa yang terjadi padaku selanjutnya.
Aku terbangun dan aku mendapati diriku tertidur tengkurap di jalan. Tubuhku terasa sakit semua, aku tak tahu apa yang terjadi. Tapi, aku rasa ada perkelahian kecil yang sudah terjadi antara aku dan seseorang yang tak kukenal. Aku masih mengumpulkan nyawaku agar kembali seutuhnya.
“Apa kau baik-baik saja?” seorang perempuan yang bertanya padaku. Tapi aku hanya diam. Karena kurasa itu bukanlah hal yang penting untuk kujawab.
Lalu dia bertanya lagi “Apa kau baik-baik saja?’, dan sekali lagi aku tak menjawabnya. Aku membalik badanku, dan aku hanya melihat ribuan bintang yang bertebaran di langit yang gelap. ‘Apakah bintang-bintang itu bertanya padaku?’ Kataku dalam hati. Aku memejamkan mataku. ‘Huh, hal konyol apa yang aku pikirkan saat ini?. Bangunlah ada seseorang yang sedang menanyaimu’, kataku dalam hati.
Aku terduduk. Aku melihat seorang gadis berkerudung biru tua duduk di depanku. “Apa kau baik-baik saja?” untuk yang ketiga kalinya dia bertanya. Tapi aku hanya memalingkan wajahku. ‘Apa yang dilakukan gadis ini?’ Tanyaku dalam hati. Melihat aku yang terus tak menghiraukan pertanyaannya, gadis itu mengeluarkan sebuah cermin kecil dari dalam tasnya. “Ini” kata gadis itu sambil meletakkannya di bawah. Aku hanya memandangi cermin itu tanpa menyentuhnya. “Berkacalah. Lihat dirimu” tambah gadis itu sambil mendorong cermin itu dengan jari telunjuknya. Aku mengambil cermin itu dan aku melihat wajahku yang babak belur.
Aku terdiam sejenak, kemudian aku langsung mengembalikannya lagi. “Sekarang aku akan tanya lagi. Apa kau baik-baik saja?” tanya gadis itu. “Ya” jawabku singkat. Kemudian gadis itu mengeluarkan tisu basah dari dalam tasnya. “Ini, bersihkan mukamu” kata gadis itu sambil meletakkannya ke bawah. Tapi aku hanya diam. Melihat aku yang hanya diam saja, gadis itu membuka tutup tisu basah itu dan kemudian menarik setengah dari tisu itu, “Ini, ambil” kata gadis itu. Aku pun mengambilnya dan mengusapnya ke wajahku.
“Apa yang kau lakukan hingga sampai seperti ini?” tanya gadis itu. “Tak tau” jawabku pelan. Tapi gadis itu tak memaksaku untuk menjawabnya. Lagi, gadis itu mengeluarkan plester dari dalam tasnya. “Ini, pakailah” katanya sembari mengambil cermin lagi dan menghadapkannya ke arahku. “Apa kau tak bisa membantuku hah?” kataku sinis.
“Maaf aku tak bisa”.
“Kenapa?”.
“Karena kita bukan mukhrim. Kau kan juga masih bisa melakukannya sendiri. Aku tak punya alasan untuk menyentuhmu”.
Aku pun hanya diam setelah mendengar perkataannya tadi. Mau tidak mau, bisa tidak bisa, aku harus melakukannya sendiri.
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanyaku sinis.
“Aku menolong seseorang yang tak kukenal” jawab gadis itu polos.
“Pergilah. Atau reputasimu akan hancur”.
“Aku hanya menolong. Salahkah aku?”.
“Kau tak seharusnya ada di sini?”.
“Kata siapa? Aku mengikuti perintah dari diriku sendiri bukan dari orang lain”.
Gadis itu membuatku terdiam lagi.
Tak berapa lama kemudian perutku berbunyi. Lalu gadis itu membuka tasnya kembali dan mengeluarkan segelas air dan sebungkus roti. “Ini, ambillah. Asal kau tahu aku tak mengasihanimu. Aku dulu lebih menyedihkan daripada dirimu, asal kau tahu itu” kata gadis itu. ‘Ternyata masih ada yang peduli padaku’, kataku dalam hati. “Ini sudah malam, aku harus pergi. Makanlah roti itu dan kembalilah pulang ke rumahmu. Di sana pasti keluargamu sudah menunggu” kata gadis itu sambil beranjak pergi. “Kau bisa jalan kan? Kalau kau tak bisa mintalah tolong pada Allah, Allah pasti akan membantumu jika kau memang bersungguh-sungguh memintanya”. Aku terdiam, merenungkan apa yang dikatakan oleh gadis itu. Tapi malam itu aku tak pulang ke rumah, aku masih merasa bersalah pada keluargaku. Jadi aku memutuskan untuk tetap di tempat itu. “Ternyata masih ada yang peduli padaku” kataku pada sebuah roti dan segelas air putih yang ada di depanku.
Malam itu pun berlalu, aku terbangun karena ada sebuah suara yang menyuruhku bangun. “Hei kau pikir ini penginapan?” kata seseorang, dan ternyata itu adalah gadis yang kemarin. Aku segera berdiri dan membenahkan penampilanku. Aku melihat gadis itu membawa bucket bunga mawar merah. “Kau mau ke mana?” tanyaku. Tapi gadis itu tak menjawab dan langsung pergi meninggalkanku. Aku segera mengejarnya dan berjalan tepat di samping. “1 meter” kata gadis itu.
“Hah?” kataku bingung.
“Berjalanlah 1 meter di sampingku”.
“Oh. Oke. Kau tinggal di mana?” kataku hanya menurut.
“Aku saat ini sedang mengunjungi bibiku”.
“Oh begitu”.
“Apa kemarin kau memakannya?”.
“Ah itu. Iya. Terima kasih banyak”.
“Lalu apakah kau sudah pulang?”.
“Tidak aku masih memikirkannya”.
“Jangan dipikirkan dan pulanglah”.
“Kenapa kau bersikap seolah-olah kau lebih tua dariku?” kataku dangan nada tinggi.
“Aku memang lebih tua darimu. Tepatnya 2 tahun lebih tua”.
“Kau lahir pada tahun 1995 kan?”.
Aku terdiam. “Mengapa kau tahu akan hal itu?” tanyaku.
“Ibumu kemarin mencarimu dimana-mana, dan aku membantunya mencarikanmu. Lalu aku ingin tahu semua tentang dirimu, jadi aku bertanya pada ibumu. Apakah sudah jelas?”.
“Ah, ya. Kau mau pergi ke mana?”.
“Ke tempat orang-orang yang sangat tenang”.
Aku tak berkata apapun dan hanya mengikutinya.
Lalu kami sampai pada sebuah makam yang berpagar tembok tua.
“Ibu, aku sekarang datang. Nyenyakkanlah dalam tidurmu” kata gadis itu dari luar pagar sembari meletakkan bucket bunga itu di pagar tembok. “Kenapa kau tak masuk?” tanyaku penasaran.
“Aku tak ingin mengganggu ibuku”.
“Ibumu ada di mana?”. Lalu gadis itu menunjuk sebuah pusara yang tak terawat yang terletak di ujung pemakaman.
“Bolehkan aku memberikannya pada ibumu?” tanyaku.
“Tak usah nanti kau mengganggunya” kata gadis itu tegar. Aku dan gadis itu pun berjalan kembali. Pergi, entah ke mana. Tapi aku hanya mengikuti langkah kaki gadis itu pergi.
“Apa kau mau aku beritahu sebuah cerita yang menarik atau bisa dibilang menyedihkan tentang masa laluku?”.
“Ah, iya. Tapi jika kau tak keberatan”.
“Aku akan memulainya. Ibuku meninggal dunia saat aku masih SMP. Setelah kepergian ibuku, aku dan ayahku pindah ke kota lain. Tapi aku hanya tinggal sendiri di rumah. Ayahku bekerja entah dimana dan tak pernah mengunjungiku, tapi aku masih dikirimi uang untuk biaya hidupku. Ayahku memberiku banyak uang setiap bulannya, dan hal itu membuatku terjerat dalam suatu perkara yang menjijikkan. Aku frustasi setelah ditinggal pergi ibuku. Lalu ayahku, hah? Memangnya dia pikir anak hanya butuh uang? Ayah macam apa dia?”.
Dia berhenti sejenak dan menarik nafas, sebelum kembali berkata “Aku sangat kecewa dengan ayahku. Sangat. Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa, yang aku bisa hanya memaafkannya saja. Aku selalu berusaha untuk tetap tenang dan melupakan semuanya. Hingga akhirnya aku terjerumus ke dalam jurang nark*ba. Aku bahkan sudah pernah direhabilitasi. Saat aku keluar, akhirnya aku sadar kalau ternyata jalan yang kupilih itu salah. Tak seharusnya aku mengikuti hawa nafsuku dan kemarahanku. Tapi aku sangat bersyukur, ternyata keluarga besarku masih mau menerimaku. Walaupun mereka saperti sangat berat untuk melakukannya. Tapi ternyata keluargaku masih punya hati nurani dan mau menerimaku. Apa kau mau sepertiku?”.
Aku terdiam lalu menggeleng. “Kalau begitu pulanglah. Untuk apa kau ada bersamaku kalau kau tak bisa mengambil hikmahnya? Ayo pulang!” ajak gadis itu padaku.
Aku berjalan pulang menuju rumah bersama gadis itu. Hingga sampai pada sebuah rumah yang terlihat begitu nyaman “Masuklah!” kata gadis itu padaku. Aku mengangguk kemudian melangkah masuk. Ternyata di dalam rumah seluruh keluargaku sudah menungguku. Ibuku berlari menghampiriku dan memelukku.
“Apa yang sudah kau lakukan? Apa kau pikir keluargamu tak khawatir?” kata ibuku sambil menangis. Ibuku melepaskan pelukannya dan mengusap air matanya.
“Apa kau sudah makan? Ayo kita makan!” kata ibuku sambil menarikku ke meja makan. Di sana akhirnya aku tahu kebenaran yang diucapkan oleh gadis itu.
Keesokan harinya aku pergi ke tempat yang kemarin berharap bisa bertemu dengannya lagi. Tak berapa saat, tepat sesuai dugaanku gadis itu melewati tempat itu lagi. Tapi kali ini dia membawa koper. “Kau mau ke mana?” tanyaku.
“Aku akan pulang. Semalam aku bermimpi ibuku menjemputku di rumahku. Katanya dia merindukanku” jawab gadis itu.
“Hah?! apa maksudmu?”.
“Tak ada. Pergilah!”.
“Aku akan mengantarmu”.
Di perjalanan menuju stasiun dia hanya diam saja. Dia terlihat begitu pucat. “Apa kau baik-baik saja?” tanyaku khawatir. Dia mengangguk. “Ah, apakah aku boleh meminta nomor teleponmu?”.
“Maaf tak bisa”.
“Oh, oke. Kalau begitu bolehkah aku meminta alamat rumahmu?”.
Dia mengambil sebuah buku catatan kecil dan menuliskan alamatnya lalu menyobeknya dan meletakkannya di bawah. Aku segera mengambilnya sebelum angin yang mengambilnya terlebih dulu. Aku memabaca alamat itu kemudian berkata “Kita beda kota”. Dia mengangguk, lalu berkata “Oh ya, apakah kau mau kerumahku? Kalau kau mau ke sana kau harus bisa baca Al-Quran dulu, terutama Yaasiin, oke?”.
“Kenapa?”.
“Nanti kau juga akan tahu”.
“Lalu kalau kau kesana datanglah dengan baju warna hitam atau gelap”.
“Kenapa?”.
“Karena aku tak suka warna cerah. Dan satu lagi datangnya minggu depan saja. Jika kau berangkat dari sini berangkatlah saat tengah hari, oke?”.
“Kenapa?”
“Kalau minggu depan di rumahku akan ramai dan akan ada banyak orang dan mungkin juga ayahku datang. Mungkin”.
“Baiklah” jawabku hanya bisa pasrah.
Aku mengantarnya sampai stasiun. Tak berapa lama kemudian kereta tiba. Sebelum aku melepas kepergiannya aku menyempatkan diri bertanya sesuatu yang seharusnya aku tanyakan di hari pertama aku bertemu dengannya “Siapa namamu?”. Dia hanya tersenyum. “Carilah sendiri. Atau nanti akan kuberitahu jika kita bertemu lagi”.
“Huruf depan dan huruf belakang saja”.
“Tidak bisa, karena namaku hanya dua huruf”.
“Hah?! Tapi bagaimana bisa aku mencari alamatmu tapi tak tahu namamu?”.
“Kalau memang Allah sudah menggariskan, kau akan tahu namaku meskipun kau mencari rumahku tanpa tahu namaku. Percayalah pada Allah”. Dia tersenyum kecil, lalu kereta membawanya pergi.
Seminggu ini terasa sangat cepat. Aku mengikuti apa yang dimintanya. Aku belajar membaca Al-Quran, memakai baju warna hitam, dan berangkat dari sini saat tengah siang. Aku sangat senang dan bersyukur karena aku bertemu dengan dia. Karena berkat dia aku bisa diterima lagi oleh semua orang. Aku memutuskan untuk menjadikannya pasangan hidupku. Aku tahu kalau dia lebih tua dariku. Tapi ini sudah keputusanku, untuk melupakan masa laluku dan masa lalunya yang kelam. Aku ingin hidupku dan hidupnya berada dilembaran putih yang baru. Sebelum aku ke stasiun, aku mampir ke toko perhiasan dulu untuk membeli cincin berharap dia akan senang dan mau menerimaku.
Sesampainya di sana aku mencari alamatnya. Saat aku menemukan tempat itu, rumah itu dipenuhi banyak orang. “Apa yang terjadi?” tanyaku pada diri sendiri. Aku pun masuk kedalam rumahnya, ternyata di sana dia sudah pergi menyusul ibunya. Aku sangat shock melihatnya. “Kenapa dia melakukan ini?” kataku pelan pada diriku sendiri. Terlihat seorang perempuan tua menangis dengan sangat. “Keponakanku kenapa kau pergi dengan seperti ini? Bahkan ayahmu juga tak datang. Kembalilah keponakanku! Hukumlah ayahmu yang tak mau tahu tentang dirimu walaupun kau sakit keras! Hukumlah! Hukum dia! Jangan pergi dulu! Aku yakin ibumu masih bisa bersabar menunggumu!” kata perempuan itu.
Aku ikut mengantar ke pemakaman. Saat batu nisan itu ditancapkan, kini aku tahu siapa namanya. Ternyata memang hanya dua huruf, tapi sangat bermakna. Semua orang sudah pergi meninggalkan pusara gadis yang kesepian itu. Meninggalkannya di sebuah tempat yang dingin dan lembab. Aku mengambil cincin yang sudah aku siapkan untuk dirinya. Aku meletakkan cincin itu di atas pusaranya. Berharap dia akan mau menerimaku saat aku sudah menyusulnya nanti. “Kau orang baik yang terjahat” kataku pada nisan yang bertuliskan nama seorang gadis yang sangat mempunyai pengaruh pada perubahanku.
Aku pun segera kembali ke kotaku. Dimana di sana ada rumah yang hangat dan keluarga yang menyayangiku. Di kereta aku terus berpikir, kini terungkap sudah semuanya semua permintaan yang ditujukan untukku. ‘Ai’ dua huruf yang sangat bermakna. “Ai, kau adalah orang baik yang terjahat, yang pernah kukenal” kataku pada diriku sendiri. Tanpa kusadari air mataku mengalir dan jatuh bersama kenangan masa laluku.
0 komentar:
Posting Komentar