Entah apa yang merasukiku, aku tak bersikap seperti biasanya yang sangat suka membuat kegaduhan dimana-mana. Saat ini aku hanya diam, kubiarkan lantunan ayat suci Al-Qur’an menghanyutkanku sangat jauh hingga akhirnya menenggelamkanku.
Pertahananku jebol, air mataku mengucur deras ketika Penceramah berdoa untuk untuk semua orang tua yang telah membesarkan kami.
“Ya Allah, ampunilah dosa-dosa kami yang secara sadar dan tidak sadar kami lakukan terhadap orang tua kami. Berilah kami kesempatan untuk mengucap maaf kepada orang tua kami karena kami tidak pernah tahu apa isi skenario kehidupan kami selanjutnya. Kami tidak bisa membayangkan apabila pulang nanti kami sudah tidak bisa bercengkrama dengan orangtua kami lagi, kami tidak bisa membayangkan apabila pulang nanti kami temukan orangtua kami sudah tak bernyawa. Maka dari itu Ya Allah izinkanlah kami berbakti setulus hati kepada orangtua kami.” Doa Penceramah di sela tangisnya yang menggema.
Dadaku bergemuruh, berbagai rasa berkecamuk dalam pikiranku. Langit pun seakan tahu hingga ikut larut dalam kesedihanku. Aku masih menangis, menangisi dosa-dosa yang semakin menumpuk akibat keegoisanku pada diriku sendiri dan kepada kedua orangtuaku.
Salat Isya, Tarawih dan Witir sudah kukerjakan dengan khusyu’ mengharap ridha Allah semata. Aku memohon ampun dengan setulus hati dengan terus membisikan doa maaf di setiap denyut nadi dan sisa napasku.
Saat pulang kubiarkan hujan menyentuh mukenaku dan berharap dapat membiaskan rasa kelu yang sampai saat ini masih melekat dalam memoriku. Teman-teman heran melihat kelakuanku yang tiba-tiba berubah dingin sedingin salju, ada juga yang mencemoohku dengan berkata gila, skizofrenia dan semacamnya.
Aku pulang ke rumah dengan rasa yang luar biasa hebat mengacaukan pikiranku yang tak henti-hentinya membayangkan dosa-dosa yang berujung dengan neraka. Kuucapkan salam tapi tak ada yang menjawab, mungkin Ibu sangat sibuk sehingga tak mendengar salamku.
Kulihat Ibu masih di dapur membuat pesanan kue untuk Lebaran Idul Fitri. Aku tahu Ibu lelah karena berkerja tanpa jeda dari pukul dua pagi sampai sekarang tak henti-henti. Tapi rasa gengsi menghantuiku karena tak pernah sebelumnya aku membantu pekerjaan Ibu.
Aku pura-pura tidak tahu langsung masuk ke kamarku dan tak lama aku terlelap di singgasana pribadi tanpa doa dan tanpa rasa bersalah sedikit pun.
Aku terbangun dan keluar dari kamarku tapi tiba-tiba Deg… jantungku mengisyaatkan kematian dengan memacu adrenalin secara berlebihan. Napasku tersedak-sedak seperti ada yang mencekikku ketika kulihat Ibuku sudah kaku dan membiru terbungkus kain putih yang diikat sana-sini. Aku menagis, kupaksa Ibuku untuk bangun tapi tak ada respon sama sekali. Aku menyesal karena mengabaikan skenario Tuhan yang sebelumnya tak kuketahui.
Duarr, ledakan langit yang jahil menyadarkan ketakutanku, pikiranku menerawang aku belum sepenuhnya pulih kembali menuju kesadaran. Aku masih disini masih terguling di singgasana tadi sebelum terlelap. Aku bersyukur karena hanya mimpi tapi rasa gelisah masih saja terus menghantui jadi kuputuskan untuk menemui Ibu.
Ibu masih disana, di dapurnya dan masih setia dengan kue-kuenya yang tak kunjung selesai karena tak ada yang membantu. Kuhampiri Ibu, kupeluk dan langsung kuutarakan kata maafku yang dulu selalu dibalut dengan kata gengsi yang kini sudah menepi.
Kasihan aku melihat Ibu yang semakin ringkih karena tak pernah bisa tidur karena tuntutan anak. Kantung matanya pun semakin membesar, pipinya yang dahulu gembul kini membentuk lembah di wajah tirusnya. Tak ada lagi aura kecantikan yang terpancar dari fisiknya tapi aku tahu semua kecantikannya itu sudah tersimpan rapi dalam hatinya untuk persediaan di surga nanti.
Ramadhan kali ini mengubahku, kini setiap sehabis salat dan mengaji selalu kukirimkan doa permohonan surga kepada Allah untuk Ibuku, aku rela biarpun itu harus ditukar dengan nyawa dan kebahagiaanku. Aku ingin menjadi anak yang saleh sehingga aku menyelamatkan orang tuaku saat penentuan tempat tinggal di alam keabadian nanti.
0 komentar:
Posting Komentar